Dinasti Joseon,
Chosŏn,
Chosun,
Choseon (
Juli 1392 –
Agustus 1910), adalah sebuah negara berdaulat yang didirikan oleh
Yi Seong-gye yang pada saat ini menjadi
Korea. Dinasti Joseon bertahan selama 5 abad lebih. Pendirian Joseon terjadi setelah lengsernya
Dinasti Goryeo yang beribukotakan di
Gaeseong dan kemudian berpindah ke
Hanyang. Wilayah Dinasti Joseon diperluas sampai batas
Sungai Yalu dan
Duman di paling utara setelah berhasil menaklukkan
bangsa Jurchen. Joseon merupakan dinasti
Konfusius yang terlama memerintah di dunia. Setelah pendeklarasian
Kekaisaran Korea tahun
1894, masa kekuasaan dinasti ini berakhir saat dimulainya
penjajahan Jepang tahun 1910.
Pendiri Joseon adalah Yi Seong-gye yang diangkat jadi
Raja Taejo. Ia adalah seorang anggota
klan Yi dari
Jeonju yang melakukan kudeta terhadap
Raja Woo dari
Goryeo. Yi Seong-gye terkenal sebagai ahli militer cerdik dalam memimpin perang terhadap
bajak laut Jepang yang mengganggu perairan Korea. Ia memindahkan ibukota dari Gaegyeong (kini
Gaeseong) ke
Hanseong dan mendirikan
istana Gyeongbok tahun
1394. Suksesi secara
patrilineal dari Raja Taejo tidak pernah terputus sampai zaman modern. Penguasa terakhir,
Sunjong, atau Kaisar Yungheui yang diturunkan secara paksa oleh militer Jepang sebagai kepala negara pada tahun
1910. Penerus garis keturunan raja dari Dinasti Joseon pada saat ini hanyalah keturunan dari
Yeongchinwang (Putra Mahkota Uimin) dan
Uichinwang (Pangeran Uihwa) yang merupakan adik Sunjong.
Selama rezimnya, Joseon memimpin penuh Korea, menganut paham
Konfusianisme dan menerapkannya dalam masyarakat, mengimpor dan mengadopsi
kebudayaan Tionghoa. Pada saat inilah Korea mencapai kegemilangan dalam bidang
budaya,
literature, dan
ilmu pengetahuan. Namun demikian Joseon mengalami kemunduran serius di akhir abad ke-16 sampai awal abad ke-17 akibat
invasi Jepang dan
invasi Dinasti Qing. Hal itu menyebabkan Joseon mulai menjalani
kebijakan isolasi terhadap dunia luar sehingga dikenal sebagai
Kerajaan Pertapa.
Joseon perlahan membuka diri pada abad ke-18, namun menghadapi
perselisihan internal, tekanan asing, serta pemberontakan dalam negeri
sehingga menjelang akhir abad ke-19, Joseon mulai kehilangan
kecakapannya. Pada tahun
1895, Joseon dipaksa menandatangani dokumen kemerdekaan dari
Dinasti Qing setelah kemenangan Jepang dalam
Perang Sino-Jepang Pertama serta
Perjanjian Damai Shimonoseki. Pada tahun 1897-1910, Joseon secara umum dikenal sebagai
Kekaisaran Korea
untuk menandakan bahwa Joseon tidak lagi berada dalam kekuasaan Dinasti
Qing. Kekaisaran Jepang mengakhiri era Dinasti Joseon pada tahun 1910
saat Raja Gojong dipaksa menandatangani
Perjanjian Aneksasi Jepang – Korea.
Masa Dinasti Joseon telah meninggalkan warisan yang sangat
berpengaruh bagi wajah Korea modern; etiket dan norma-norma budaya,
perilaku bermasyarakat, dan juga bahasa Korea modern dan dialeknya
berakar dari pola pemikiran tradisional periode ini.
Sejarah
Awal perkembangan
Di akhir abad ke-14 M,
dinasti Goryeo yang berusia 400 tahun yang didirikan
Wang-geon tahun 918 lengser, fondasinya melemah akibat perang yang berkepanjangan dan penjajahan de facto oleh
Kekaisaran Mongol.
Dalam tubuh kerajaannya sendiri juga mengalami perselisihan dikarenakan
tidak hanya penguasanya gagal mengendalikan secara efektif kerajaannya,
namun juga dianggap tercemari oleh generasi-generasi dari perkawinan
paksa dengan anggota keluarga Kekaisaran Mongol dan keluarga rival
(bahkan ibu dari Raja Woo adalah rakyat biasa, yang membuat tersebarnya
rumor yang meragukan keturunannya dari
Raja Gongmin.
Dalam kerajaan, kelompok para bangsawan, jenderal, bahkan perdana
menterinya terpecah-pecah dalam partai berbeda yang tujuannya mencari
kekuasaan semata. Dengan meningkatnya serangan bajak laut Jepang dan
kelompok
Sorban Merah,
kekuasaan kerajaan mulai didominasi oleh 2 kelompok bangsawan,
Bangsawan Sinjin dan Bangsawan Gwonmun, serta seorang jenderal yang
dapat menangkis ancaman asing; Jenderal berbakat Yi Seong-gye dan
rivalnya
Choe Yeong.
Menyusul berdirinya
Dinasti Ming dibawah pimpinan
Zhu Yuanzhang yang karismatik (Kaisar Hongwu), kekuasaan dalam tubuh
Goryeo
terpecah ke dalam faksi-faksi yang saling berkonflik yaitu kelompok
yang dipimpin Jenderal Yi (pendukung Ming) dan Jenderal Choe (di posisi
Mongol). Ketika utusan Ming tiba di Goryeo tahun 1388 (tahun ke-14 rezim
Raja Woo) untuk meminta pengembalian teritori utara Goryeo kepada Ming,
Jenderal Choe menggunakan kesempatan itu untuk melakukan invasi
terhadap
Semenanjung Liaodong (Goryeo mengklaim sebagai penerus kerajaan kuno
Goguryeo dan menginginkan untuk mengembalikan kejayaannya dengan mengambil alih
Manchuria).
Jenderal Yi yang dapat dipercaya dijadikan pemimpin invasi, namun pada
saat mencapai Pulau Wuihwa di Sungai Yalu, ia memberontak dan memimpin
balik pasukan ke ibukota Gaegyeong, melakukan pembunuhan terhadap
Jenderal Choe dan para pengikutnya. Ia memulai kudeta terhadap
Raja Woo dan mengangkat putranya,
Raja Chang pada tahun
1388. Karena usaha restorasinya gagal Jenderal Yi membunuh mantan Raja Woo dan Raja Chang lalu memaksa raja baru naik tahta, yakni
Raja Gongyang. Setelah memaksakan kekuasaanya secara tidak langsung melalui raja boneka, Yi mulai bersekutu denagn Bangsawan Sinjin seperti
Jeong Do-jeon dan
Jo Jun.
Sebagai jenderal de facto Goryeo, ia membuat Undang-Undang Gwajeon yang
secara efektif bertujuan untuk menyita tanah dari tuan tanah kaya dan
kelompok bangsawan konservatif Gwonmun, lalu membagi-bagikannya kepada
pendukungnya di kelompok Sinjin. Pada tahun 1392 (tahun ke-4 rezim Raja
Gongyang), putra ke-5 Yi, Yi Bang-won, demi kesetiaanya pada ayahnya
memerintahkan 5 orang untuk mengeksekusi seorang bangsawan pendukung
rezim lama bernama Jeong Mong-ju di Jembatan Seonjuk dekat ibukota.
Tahun yang sama, Yi menuruntahtakan Raja Gongyang, mengasingkannya ke
Wonju dan naik tahta. Dinsati Goryeo berakhir setelah 500 tahun berkuasa.
Penghapusan sisa-sisa Goryeo
Pada awal kekuasaan Yi Seong-gye, sekarang Raja Taejo, berniat
melanjutkan penggunaan nama Goryeo untuk negara dan secara sederhana
mengubah garis kekuasaan untuk keturunannya, lalu tetap melanjutkan 500
tahun kekuasaan Goryeo. Namun dengan banyaknya ancaman dari kelompok
pro-rezim sebelumnya, yakni kelompok bangsawan Gwonmun, Raja Taejo
akhirnya melakukan reformasi besar seluruh sistem dengan nama dinasti
Joseon pada tahun 1393.
Dengan deklarasi kekuasaan baru, kerajaan sekarang menemui masalah
dengan sisa-sisa keturunan dari keluarga Wang. Raja Taejo dan pejabatnya
merasa bahwa legitimasi kepemimpinannya selalu dipermasalahkan oleh
sisa-sisa anggota keluarga Goryeo, mereka harus menekan pemberontakan
massa atau justru membahayakan kursi kepemimpinan mereka yang baru.
Akhirnya, Raja Taejo menyuruh perdana menterinya Jeong Do-jeon
memerintahkan semua keluarga Wang pergi ke pantai barat dan mengasingkan
mereka semua ke pulau Ganghwa, dimana mereka diharapkan dapat hidup
tenang dan jauh dari pemerintahan. Namun semua rencana itu rupanya
jebakan, pada saat berlayar kapal dengan sengaja ditabrakkan ke karang
sampai tenggelam bersama seluruh penumpangnya. Konon berdasarkan cerita
rakyat beberapa anggota yang selamat dan mencapai daratan, mengganti
nama marga mereka,
Wang (王), menjadi Ok (玉) untuk menyembunyikan keturunan mereka.
Setelah seluruh sisa keluarga dari Goryeo disingkirkan, Raja Taejo
menginginkan ibukota baru. Walau Gaegyeong telah menjadi ibukota
pemerintahan selama lebih dari 400 tahun, adalah tradisi untuk dinasti
baru memindahkan ibukota ke lokasi baru menurut cara faengshui dan
geomansi. Gaegyeong (kini
Gaeseong di
Korea Utara)
dianggap sudah kehilangan energi untuk dijadikan pusat pemerintahan.
Hasilnya, 3 tempat terpilih sebagai calon ibukota baru: kaki
gunung Gyeryeong serta kota
Muak dan
Seoul.
Lokasi di kaki gunung Gyeryeong ditolak setelah diketahui memiliki
tanah yang kurang bagus dan kurangnya sarana komunikasi, sementara Muak
dipertimbangkan serius sebelum akhinrya Raja Taejo memutuskan Hanyang
sebagai tempat yang paling tepat. Hanyang dapat dengan mudah dicapai
dari darat dan laut, berpusat di tengah-tengah
semenanjung Korea dan dalam sejarahnya tempat ini dahulu selalu diperebutkan
Tiga Kerajaan karena tanahnya yang subur. Selama berabad-abad Hanyang dipercaya adalah tempat yang penuh aliran energi
geomansi
yang baik. Ia bergunung-gunung di utara dan berbukit-bukit di selatan
sebagai pelindung, dan diantaranya terdapat dataran lapang sehingga
memenuhi kriteria poros utara-selatan. Hanyang dijadikan ibukota resmi
tahun
1394 dan nama formalnya adalah Hanseong. Istana dibangun di kaki
gunung Bugak. Wilayah yang dihuni
harimau
ini secara cepat dibangun dengan jalan, gerbang, jembatan, perumahan,
fasilitas publik dan 5 istana besar yang semuanya diselesaikan tahun
1394. Sebelum berakhirnya pertengahan abad ke-15, semua fasilitas kota
telah diselesaikan dan berjalan dengan baik.
Perselisihan awal
Raja Taejo punya 2 orang istri, yang keduanya memberikan putra. Istri
pertamanya, Ratu Sinui, telah lebih dulu meninggal saat penggulingan
Goryeo, namun ia melahirkan 6 orang anak laki-laki. Istri Raja Taejo
setelah penobatan adalah Raja Sindeok, yang melahirkan 2 orang putra.
Ketika dinasti yang baru disahkan dan memerintah negeri, Taejo memilih
untuk mengangkat salah seorang penerusnya. Walau putranya yang ke-5 dari
Ratu Sinui, Yi Bang-won telah berjasa besar dalam membantu sepak
terjang ayahnya, namun sebenarnya Yi Bang-won bermusuhan dengan 2 tokoh
penting raja dalam kerajaan, perdana menteri Jeong Do-jeon dan
Nam eun. Kedua pihak, Yi Bang-won dan perdana menteri memelihara kebencian dan saling merasa terancam.
Ketika jadi jelas Yi Bang-won adalah penerus kerajaan, Jeong Do-jeon
menggunakan kekuasaannya untuk memengaruhi keputusan raja agar memilih
penerus dari putranya yang paling ia sayangi, bukannya dari yang paling
cocok untuk menduduki jabatan raja. Pada tahun 1392, putra ke-8 raja
(putra ke-2 dari Ratu Sindeok), Pangeran Besar Ui-an (Yi Bang-seok)
ditunjuk sebagai Pangeran Penerus Kerajaan. Setelah kematian tiba-tiba
ratu, dan suasana istana masih diliputi duka, Jeong Do-jeon
berkonspirasi untuk mengeliminasi Yi Bang-won dan saudara-saudaranya
guna menyelamatkan posisinya di istana. Mengetahui akan hal ini, Yi
Bang-won bertindak dan membunuh Jeong Do-jeon, para pengikutnya, serta 2
orang putra raja dari mendiang ratu Sindeok. Insiden ini dikenal
sebagai Perselisihan Pertama Pangeran. Melihat kenyataan putranya saling
membunuh guna mendapat kursi raja, dan secara psikis menderita akibat
kematian istrinya, Raja Taejo segera menaiktahtakan putra keduanya, Yi
Bang-gwa menjadi
Raja Jeongjong sebagai penerusnya. Setelah itu ia pergi menyepi ke
Hamhung di utara.
Salah satu usaha Jeongjong sebagai raja adalah mengembalikan lagi
ibukota ke Gaeseong, dimana ia merasa lebih nyaman. Sementara Yi
Bang-won, yang masih tidak puas dengan kenyataan kakaknya naik tahta,
mulai mencalonkan diri sebagai Saudara Pangeran Penerus Kerajaan, gelar
tradisional untuk saudara raja yang ditunjuk sebagai penerus raja jika
raja yang berkuasa tidak punya calon pengganti. Bagaimanapun juga
usahanya dilawan oleh putra Taejo ke-4, pangeran Yi Bang-gan, yang juga
ingin menduduki jabatan raja. Tahun 1400, ketegangan antara faksiYi
Bang-won dan faksi Yi Bang-gan meningkat menjadi konflik besar yang
dikenal sebagai Perselisihan Kedua Pangeran. Akibat perselisihan ini
Raja Jeongjong mengasingkan Yi Bang-gan ke Tosan dan mengeksekusi mereka
yang melawan Yi Bangwon. Dengan penuh intimidasi, Raja Jeongjong segera
mencalonkan Yi Bang-won sebagai penerus dan secara sukarela turun
tahta. Tahun yang sama, Yi Bang-won naik tahta Joseon sebagai
Raja Taejong. Tahun 1401, Dinasti Joseon mulai menjalin hubungan diplomatik dengan
Dinasti Ming.
Di awal rezim Taejong, Mantan Raja Besar, Taejo, menolak untuk
memberikan stempel kerajaan guna mengesahkan legitimasi kepada Taejong.
Merasa tidak mendapat dukungan sang ayah yang tidak mengakuinya sebagai
pemimpin de jure akibat kematian saudara-saudaranya yang ia akibatkan,
Taejong mengirim beberapa utusan ke Hamhung. Salah seorangnya adalah Bak
Sun, teman masa kecilnya untuk meminta stempel itu. Bagaimanapun juga
Taejo yang masih tidak memaafkan anaknya memerintahkan para pengawal
menghabisi setiap utusan yang datang. Insiden ini kemudian dikenal
dengan Kasus dari Utusan Hamhung, dan istilah utusan Hamhung masih
digunakan hingga kini untuk menyebut seseorang yang pergi bertugas namun
tidak pernah pulang tanpa kabar.
Konsolidasi kekuasaan
Karena ayahnya tidak mau mewariskan stempel kerajaan sebagai tanda
sah, Taejong mulai membuat kebijakan yang ia percaya dapat mebuktikan
kepandaian dan haknya dalam memimpin. Salah satu usahanya adalah
menghapus hak-hak khusus yang dinikmati para pejabat dan bangsawan
kerajaan guna memelihara kemiliteran negara. Pencabutan hak-hak
isitimewa mereka untuk memperkuat militer secara efektif memperlemah
kemampuan para pejabat untuk melakukan pemberontakan, dan juga secara
dramatis meningkatkan jumlah orang yang masuk ke militer.
Usaha Taejong selanjutnya adalah memperbaiki undang-undang yang
terdahulu yang berkaitan dengan pajak kepemilikan tanah. Walau banyak
dari para bangsawan yang diuntungkan dari kebijakan Raja Taejo yang
mendistribusikan properti dari bangsawan Gwonmun kepada kelompok Sinjin.
Namun bangsawan Sinjin menghindari pajak dengan sengaja menyembunyikan
tanah-tanah yang mereka beli. Kebijakan Taejong menginvestigasikan
kepemilikan tanah pada tahun 1405 mengakhiri praktik semacam itu. Dengan
penemuan tanah-tanah yang tersembunyi ini, pendapatan nasional
meningkat 2 kali. Selain itu Raja Taejong memulai survei populasi untuk
pertama kalinya pada tahun 1413 dan memerintahkan untuk
mendokumentasikan klan atau nama keluarga, tempat kelahiran atau
kematian, tanggal lahir dan kematian terhadap semua pria Joseon. Semua
pria diatas usia 16 tahun, dari kelas manapun di dalam masyarakat,
diharuskan oleh hukum membuat tablet kayu yang merekam nama, tanggal
lahir, dan informasi lainnya. Banyak ahli sejarah modern menganggap
kebijakan ini berguna sebagai sistem identifikasi sosial warga Joseon
dan juga dapat mencegah pria lari dari tugas dan kewajiban militer.
Pada tahun 1392 (tahun ke-2 Raja
Jeonjong),
Taejong memainkan peran penting dalam menghentikan Sidang Dopyeong,
dewan dari adminstrasi pemerintahan lama yang melakukan monopoli dalam
istana selama tahun-tahun akhir Dinasti Goryeo dan membentuk Departemen
Euijeong, cabang baru dari adminstrasi pusat yang dikendalikan raja.
Setelah melakukan dokumentasi subjek dan kebijakan perpajakan, Raja
Taejong membuat kebijakan baru dimana semua keputusan yang dikeluarkan
oleh Departemen Euijeong-lah yang sah dengan pengesahan dari raja.
Kebijakan ini mengakhiri cara lama dimana para pejabat kerajaan membuat
keputusan melalui debat dan negosiasi sementara raja hanya sebagai
pemerhati saja. Cara ini labih jauh melibatkan sang raja dalam
administrasi dan meningkatkan pengaruh kekuasaannya. Setelah itu Taejong
kembali membentuk satu lagi kantor pemerintah, yaitu Kantor Sinmun,
untuk menerima kasus-kasus dimana rakyat menerima perlakuan tidak adil
atau dieksploitasi oleh para pejabat dan bangsawan.
Selama masa pemerintahan Taejong, ketegangan yang meningkat antara
kelompok Buddhis dan pengikut paham Konfusius menjadi masalah, jadi
pemerintahan baru memutuskan untuk mengubah paham negara menjadi
Konfusius. Pemberlakuan sistem kelas sosial ketat dimulai sejak era ini,
dimana kelas
bangsawan (
yangban) menempati posisi tinggi. Pada tahun 1443 abjad
Hangeul diciptakan oleh
Raja Sejong. Sebelumnya semua kalangan terpelajar menggunakan sistem penulisan
hanja, dimana digunakan
karakter Tionghoa sebagai teks. Sedangkan bahasa penulisan digunakan sistem hanmun yang didasarkan pada bahasa
Tionghoa Klasik untuk dokumen-dokumen resmi.
Bagaimanapun juga, dengan hadirnya hangeul, penggunaan hanja dan
hanmun tidak berhenti. Para bangsawan terpelajar yang mampu menulis dan
membaca hanja, tidak sudi menggunakan hangul. Hangul mulai populer
menjelang akhir abad ke-19, dan penggunaan hanja dan hanmun mulai
menurun sejak pertengahan abad selanjutnya.
Sistem hirarki sosial
Selama era Joseon, sistem administrasi yang tersentralisasi
dilaksanakan berdasarkan sistem konfusius oleh yangban. Yangban berarti 2
kelompok kelas, dan terdiri atas kelompok militer dan birokrat. Untuk
menjadi yangban harus melewati ujian-ujian, namun kadang-kadang putra
bangsawan yang dihormati diberikan hak khusus. Seluruh negeri mengadopsi
sistem kelas sosial ketat, dengan raja (wang) di puncak, bangsawan
(yangban) dibawahnya, chungin atau pegawai pemerintahan berada
dibawahnya lagi, lalu populasi rakyat jelata atau sangmin yang umumnya
berprofesi sebagai petani, pekerja dan nelayan berada di bawah kelas
chungin. Kelas sangmin dikenai pajak Cho (租)•Po (布)•Yuk (役). Seringkali
pajak berat dan kasus korupsi para birokrat menyebabkan kerusuhan. Semua
sangmin dapat mencapai posisi yangban, namun posisi kelas birokrat
tidak bisa diwariskan, sedikit dari mereka yang dapat mengatur waktu dan
uang guna mengikuti ujian-ujian.
Pada dasar piramid, adalah kelas cheonmin atau kelas budak.
Perbudakan di Joseon adalah warisan keturunan, namun dapat pula
diberlakukan sebagai hukuman legal. Ada kelas budak yang dimiliki oleh
pemerintah atau pribadi, dan pemerintah dapat menjual budak kepada
rakyat kelas atas. Budak milik pribadi mewariskan keturunan yang juga
budak. Selama masa panen yang buruk, banyak dari kelas sangmin yang
sukarela menjadi budak demi bertahan hidup. Budak pribadi juga dapat
bebas jika mereka mampu membayar. Dalam era Joseon 30% - 40% populasinya
adalah kelas budak. Mereka dianggap mengerjakan pekerjaan kasar seperti
tukang daging, dan pembuat sepatu.
Sistem hirarki sosial Joseon diwariskan dari zaman Goryeo. Pada abad
14 – 17, sistem ini mencapai masa puncaknya. Pada abad 18 – 19, kelas
atas bertambah dengan pesat dan sistem ini mulai longgar dan alkhinya
dihapuskan secara resmi tahun 1894. Dalam masyarakat modern sekarang,
beberapa keluarga masih mengenali dan menghormati garis yangban mereka.
Iptek dan budaya
Era Joseon mengalami 2 periode perkembangan budaya yang signifikan, beberapa karya budaya yang dihasilkan adalah
Upacara Teh (Dado), arsitektur
taman Korea, dan banyak karya cemerlang lain. Banyak benteng, pelabuhan dagang dan istana yang dikonstruksikan.
Penemuan-penemuan penting membuat Joseon mengungguli ilmu pengetahuan negeri tetangganya, seperti penemuan
jam matahari pertama di Asia, serta
jam bertenaga air pertama di dunia. Selama era
Raja Sejong Besar, ilmuwan
Jang Yeong-sil menciptakan alat
pengukur hujan pertama di dunia. Alat cetak huruf dari metal yang ditemukan tahun 1232 di era Goryeo mendesak produk cetak lokal di Tiongkok.
Perdagangan
Sejak zaman Goryeo, bangsa Korea sudah menjalin hubungan dagang dengan
bangsa Arab,
Tionghoa, dan
Jepang.
Pelabuhan dagang besar Joseon yang ramai oleh pedagang internasional
contohnya di Pyongnam. Produksi lokal Korea seperti kain brokat,
perhiasan,
ginseng,
perak, kain sutera dan porselen memikat pedagang asing. Namun, akibat
diubahnya paham negara menjadi Konfusius dan untuk menghapus pengaruh
Buddhisme yang diwariskan dari zaman Goryeo, keramik hijau (
cheongja) khas Goryeo digantikan dengan produk keramik putih (
baekja)
khas Joseon yang tidak disukai para pedagang Tiongkok dan Arab. Selain
itu bidang perdagangan menjadi kurang diperhatikan karena negara sedang
giat memajukan bidang pertanian. Kebijakan membayar upeti secara rutin
kepada Tiongkok memaksa Joseon untuk menghentikan produksi barang-barang
mewah seperti emas dan perak dan hanya mengimpor produk-produk penting
dari Jepang. Karena dijadikan mata uang di Tiongkok, perak memainkan
peran penting dalam hubungan dagang Joseon-Ming.
Invasi awal Jepang
Selama sejarah Korea,
bajak laut Jepang
mengacau wilayah pantai dan darat di Korea, oleh karena itu angkatan
laut diperlukan untuk melindungi perdagangan maritim. Tentara Joseon
mengembangkan persenjataan dengan teknologi baru yang diimpor dari Ming
seperti
meriam dan
panah api.
Dalam masa
Invasi Jepang ke Korea (1592-1598), penglima perang Jepang
Toyotomi Hideyoshi yang berambisi menguasai Tiongkok, menginvasi Joseon dari tahun 1592-1597. Dengan persenjataan modern dari
Portugis, dalam hitungan bulan mereka menduduki semenanjung,
Hanseong dan
Pyeongyang
pun berhasil diduduki. Akibat perpecahan dalam kabinet kerajaan,
kurangnya informasi mengenai kemampuan militer musuh dan gagalnya usaha
diplomasi menyebabkan buruknya persiapan Joseon. Berdasarkan
Babad Dinasti Joseon, serbuan tentara Jepang dibantu oleh budak-budak yang berontak. Mereka membakar dan meruntuhkan
istana Gyeongbok dan perpustakaan catatan budak.
Perlawanan sengit dari rakyat melemahkan kekuatan musuh dengan kemenangan-kemenangan besar perang naval dalam pimpinan Admiral
Yi Sun-shin.
Admiral Yi mengambil alih kendali di perairan dengan menghabisi
kapal-kapal suplai Jepang. Adanya bantuan Ming yang mengirimkan bantuan
pasukan dalam jumlah besar tahun 1593 berhasil memukul mundur pasukan
Hideyoshi. Joseon mengembangkan armada perang dengan perlengkapan
canggih dan kemampuan tinggi seperti armada Geobukseon (
Kapal Kura-kura)
yang berlapis besi. Namun, kemenangan Joseon dibayar dengan harga yang
sangat mahal. Lahan pertanian, saluran irigasi, fasilitas desa dan
perkotaan rusak berat. Ratusan ribu penduduk tewas, jutaan lain
menderita kerugian materi. Puluhan ribu seniman, pengrajin dan pekerja
terbunuh dan diculik ke Jepang guna mengembangkan teknik kerajinan
mereka. Para samurai itu juga merampok banyak harta sejarah bernilai
Korea, banyak diantaranya disimpan di museum-museum. Pada tahun 1598,
para samurai memotong lebih dari 38.000 telinga dan hidung orang Korea
sebagai trofi dan membangun
monumen Mimizuka di
Kyoto.
Setelah perang berakhir, terputuslahi hubungan Jepang dengan daratan
Asia. Jepang tidak dapat lagi menikmati teknologi yang dimiliki daratan
Asia. Setelah kematian Toyotomi Hideyoshi, negosiasi antara Joseon dan
keshogunan Tokugawa dilakukan oleh Jepang di
Tsushima. Pada tahun 1604,
Tokugawa Ieyasu
menginginkan dibukanya kembali relasi dengan Joseon agar mereka bisa
berhubungan kembali dengan daratan Asia. Sesuai perjanjian Tokugawa
membebaskan 3000 orang tahanan Joseon. Hasilnya pada tahun 1607, utusan
dari Joseon mengunjungi Edo, dan hubungan kedua negara dipulihkan namun
terbatas.
Hubungan dengan Tiongkok setelah Ming
Menyusul berakhirnya invasi Jepang, Joseon mulai mengisolasi diri.
Penguasanya membatasi hubungan dengan negara lain. Sementara itu Dinasti
Ming mulai melemah, sebagian karena terkurasnya biaya akibat membantu
Joseon dalam invasi Jepang dan semakin menguatnya pengaruh
suku Manchu
atas Tiongkok. Joseon memperketat penjagaan dan kontrol terhadap
lalu-lintas perbatasan, serta menunggu berita dari pergolakan di
Tiongkok.
Walau demikian, hubungan dagang tetap berjalan dengan Mongolia,
Tiongkok, Asia Utara dan Jepang. Khusus dengan Jepang, perdagangan
dibatasi oleh raja dengan menunjuk utusan khusus untuk mencegah
pembajakan di laut.
Joseon menderita 2 kali invasi dari suku Manchu, tahun 1627 dan 1637.
Joseon menyerah dan menjadi negeri protektorat Dinasti Qing yang
berkewajiban membayar upeti. Pada saat ini Joseon terlibat hubungan
dagang dua arah dengan Qing. Penguasa Qing mengadopsi kebijakan asing
untuk menghindari pendudukan tanah Tiongkok oleh pendatang asing.
Kebijakan ini membatasi kegunaan jalur entrepot (gudang barang) pedagang
asing dengan memindahkan pintu gerbang baru ke Macau. Pintu gerbang
entrepot merupakan jalur utama dalam perdagangan
kain sutera
produksi Tiongkok dengan perak dari negara lain. Pengaturan ini
memindahkan jalur dagang dari wilayah utara yang tidak stabil ke
propinsi-propinsi selatan, sehingga membatasi pengaruh orang asing
terhadap Tiongkok. Kebijakan ini memengaruhi Joseon yang merupakan mitra
dagang utama mereka. Walau hubungan dagang diperketat, Joseon tetap
menjalin hubungan dagang dengan Tiongkok (yang saat itu adalah negara
termaju di dunia) dalam produk-produk kekayaan alam, teknologi terbaru,
keramik, dan ginseng. Ekonomi Korea berkembang cukup baik saat ini,
tercatat pengunjung pertama dari barat mengunjungi Korea, yaitu Hendrick
Hamel dari
Belanda.
Kejatuhan dan Kekaisaran Han Raya
Pada abad ke-19, ketegangan mulai meningkat antara Tiongkok dan Jepang, mencapai puncaknya dalam
Perang Sino Jepang Pertama (1894-1895). Ironisnya sebagian besar dari perang ini terjadi pada wilayah semenanjung Korea. Setelah
Restorasi Meiji, Jepang maju pesat dengan bantuan teknologi militer barat. Kekaisaran itu memaksa Joseon menandatangani
Perjanjian Ganghwa
pada tahun 1876. Jepang kembali menancapkan kukunya ke tanah Korea demi
mencari sumber daya alam dan bahan pangan dengan membangun kekuatan
ekonomi di semenanjung, suatu tanda dimulainya ekspansi ke Asia Timur.
Dengan kekalahan Tiongkok tahun 1894 dalam perang akhirnya mencapai kesepakatan dalam
Perjanjian Shimonoseki antara kedua belah pihak, yang digunakan sebagai alasan untuk membebaskan Korea dari pengaruh Qing. Kemudian Joseon membangun
Gerbang Kemerdekaan dan berhenti membayar upeti kepada Qing. Terjepit akan 3 kekuatan besar,
Raja Gojong merasa perlu untuk mempertahankan integritas nasional dan akhirnya pada tahun 1897 mendeklarasikan
Kekaisaran Han Raya.
Ia mengganti gelar menjadi kaisar guna menyatakan kemerdekaan
negerinya. Secara tidak langsung, 1897 merupakan tahun berakhirnya
periode Joseon, namun secara resmi masih memimpin Korea meskipun tahun
1895 Jepang mengacaukan istana dengan pembunuhan
Maharani Myeongseong oleh mata-mata bernama
Miura Goro. Tahun 1910 secara resmi era Dinasti Joseon berakhir bersamaan dengan jatuhnya Korea ke dalam jajahan Jepang.
Kombinasi efek dari
Perang Opium
di selatan dan serbuan tentara Jepang di utara terhadap Tiongkok
membuat Jepang semakin menyadari bahwa Korea adalah batu pijakan penting
ke Tiongkok, seperti
Makau dan
Hong Kong yang direbut Portugis dan Inggris.
Penjajahan Jepang
Dalam seri
Pertempuran Port Arthur
pada tahun 1905, Jepang melibas Rusia tanpa ampun. Sebelumnya Rusia dan
Tiongkok adalah payung Korea dan melindunginya dari invasi langsung,
namun akibat kekalahan Rusia dan jatuhnya Tiongkok ke tangan Jepang,
tinggallah Korea yang nasibnya bergantung pada belas kasihan Jepang.
Dengan berakhirnya
Perang Russo-Jepang 1904-1905 dalam kesepakatan dalam
Perjanjian Portsmouth, jalan Jepang ke Korea semakin terbuka. Setelah menandatangani
Perjanjian Portektorat tahun 1905, Korea menjadi protektorat Jepang dengan gubernur Jenderal pertama adalah
Ito Hirobumi. Hirobumi tewas tahun 1909 di
Harbin setelah dibunuh nasionalis Korea,
Ahn Jung-geun. Peristiwa ini menyebabkan Jepang menjajah Korea tahun 1910.
Keluarga saat ini
Foto yang diambil tahun 1915 ini menunjukkan anggota keluarga Kekaisaran
Joseon terakhir, dari kiri: Pangeran Uichin (putra ke-6 Gojong); Kaisar
Sunjong (putra ke-2 Gojong, kaisar/raja terakhir Joseon); Pangeran
Yeongchin (putra ke-7); Kaisar Gojong; Ratu Yundaebi (istri Sunjong);
Deogindang Gimbi (istri Uichin); Yi Geon (putra tertua Uichin). Anak
yang duduk di kursi di barisan depan adalah Putri Deokhye, anak bungsu
Gojong. Foto ini sebenarnya adalah kompilasi, karena pemerintah Jepang
tidak mengizinkan mereka berada dalam satu ruangan secara bersamaan,
beberapa dipaksa meninggalkan Korea.
Setelah melakukan invasi dan aneksasi secara de facto tahun 1910,
para Pangeran dan Putri Kekaisaran Joseon dipaksa meninggalkan Korea ke
Jepang guna menikah atau belajar.
Pewaris Tahta Kekaisaran, Putra Mahkota Uimin, menikah dengan Putri
Yi Bang-ja (d/h Nashimoto), dan memiliki 2 putra, Pangeran Yi Jin dan Yi
Gu. Kakak Uimin, Pangeran Ui memiliki 12 orang putra dan 9 putri dari
berbagai istri dan selir.
Putra Mahkota Uimin kehilangan statusnya di Jepang saat berakhirnya
Perang Dunia II
dan kembali ke Korea tahun 1963 setelah diundang Pemerintah Korea
Selatan. Ia menderita struk saat pesawatnya mendarat di Seoul dan dibawa
ke rumah sakit. Ia tidak pernah sembuh dan meninggal tahun 1970.
Kakaknya, Pangeran Ui meninggal tahun 1955 dan rakyat Korea secara resmi
menganggap kematiannya adalah akhir dari garis keluarga kerajaan.
Baru-baru ini,Yang Mulia Pangeran Yi Seok, putra dari Pangeran Gang
(putra ke-5 Gojong) dan 2 orang lain, mengaku sebagai penerus tahta
kerajaan. Sekarang ia adalah seorang profesor di
Universitas Jeonju, Korea Selatan.
Kini, banyak keturunan anggota keluarga kerajaan tinggal di Amerika Serikat dan Brazil, diluar Korea.
Makam-makam anggota keluarga terdahulu dapat ditemukan di Yangju.
Berdasarkan tulisan yang tertulis di batu nisan, keluarga kerajaan
terakhir adalah keturunan
Raja Seongjeong
(raja ke-9). Gunung dan tanah itu dimiliki salah seorang anggota
keluarga bernama Yi Won (lahir 1958). [Informasi lebih lanjut di
Keluarga Yi.]
Keluarga kekaisaran
Gelar dan penyebutan
Dalam kerajaan
- Wang (王 왕; Raja), dengan formalitas sebutan jeonha (殿下 전하; Yang
Mulia Raja) atau sebutan lain yang agak jarang digunakan namun cukup
umum, mama (媽媽 마마; juga berarti Yang Mulia Raja). Selain sebutan "jeon
ha", terdapat banyak jenis gelar dan sebutan bagi raja. Contohnya untuk
mendiang raja, gelarnya adalah seondaewang (先大王 선대왕; Mendiang Raja
Besar) atau daewang (大王 대왕; Raja Besar); utusan asing menyebut gugwang
(國王 국왕; Raja Negeri) dan penghuni istana jika berbicara dengan raja,
formalitas yang lebih dalam harus digunakan yaitu dengan penyebutan
geum-sang (今上 금상; Raja Kini), jusang atau sanggam (主上 주상上監 상감; Raja
Berdaulat), atau daejeon (大殿 대전; Istana Besar). Penyebutan untuk raja
sama untuk semua gelar, kecuali ibu suri dan raja yang baru saja turun
tahta, yang berbicara dengan raja tanpa menggunakan formalitas tertentu.
- Wangbi (王妃 왕비; Permaisuri/Ratu), dengan formalitas mama (媽媽 마마; Yang
Mulia Permaisuri). Formalitas di istana menggunakan sebutan
junggungjeon atau jungjeon (中宮殿 중궁전中殿 중전; Istana Tengah). Permaisuri
yang telah menikah dengan raja sampai meninggalnya biasanya diberi gelar
dengan 2 buah huruf hanja di depan dan akhiran wanghu (王后 왕후; Ratu) di
belakangnya.
- Sangwang (上王 상왕; Mantan Raja), raja yang sukarela turun tahta untuk
digantikan putranya. Mereka umumnya masih memiliki pengaruh pada
masa-masa akhir hidupnya. Formalitasnya adalah jeonha (殿下 전하; Yang
Mulia) atau Mama (媽媽 마마; Yang Mulia).
- Daebi (大妃 대비; Ibu Suri), ibu dari raja, formalitasnya adalah mama
(媽媽 마마; Yang Mulia). Ibu Suri cukup berpengaruh bagi kekuasaan raja,
terutama saat raja masih terlalu muda dalam memimpin.
- Taesangwang (太上王 태상왕; Mantan Raja Besar), seorang mantan raja senior
di atas raja lain yang juga sudah turun tahta. Formalitasnya adalah
jeonha (殿下 전하; Yang Mulia) atau mama (媽媽 마마 ; Yang Mulia).
- Wangdaebi (王大妃 왕대비; Ibu Suri Istana), mantan ratu senior berada di
atas ibu suri senior lain atau dapat juga yang bertindak adalah bibi
sang raja. Formalitasnya mama (媽媽 마마 Yang Mulia).
- Daewangdaebi (大王大妃 대왕대비; Ibu Suri Istana Besar), mantan ratu senior
yang berada di atas seorang mantan ratu lain dan seorang ratu yang
sedang berkuasa, formalitasnya mama (媽媽 마마; Yang Mulia).
- Daewongun (大阮君 대원군; Pangeran Dalam Besar), ayah dari seorang raja
yang tidak dapat naik tahta karena ia bukan dari generasi yang menjadi
pewaris tahta (raja-raja yang dihormati dalam Kuil Jongmyo haruslah menjadi senior dari raja berkuasa yang melakukan penghormatan bagi mendiang raja senior).
- Budaebuin (府大夫人 부대부인; Istri Pangeran Dalam Besar), istri dari
Pangeran Dalam Besar atau ibu raja yang ayahnya tidak bisa naik tahta.
- Buwongun (府院君 부원군; Pangeran Dalam), ayah dari permaisuri/ratu.
- Bubuin (府夫人 부부인; Istri Pangeran Dalam), ibu dari permaisuri/ratu.
- Gun (君 군; Pangeran), sebutan untuk putra raja yang lahir dari
hubungan dengan selir atau keturunan dari Pangeran Besar. Formalitasnya
adalah agissi (아기씨; Yang Mulia) sebelum pernikahan dan daegam (大監 대감;
Yang Mulia) setelahnya.
- Gunbuin (郡夫人 군부인; Istri Pangeran), istri dari pangeran.
- Daegun (大君 대군;Pangeran Besar), pangeran yang lahir secara resmi
antara hubungan raja dan ratu, formalitasnya adalah agissi (아기씨; Yang
Mulia) sebelum pernikahan dan daegam (大監 대감; Yang Mulia) setelahnya.
- Bubuin (府夫人 부부인; Istri Pangeran Besar), istri dari pangeran besar.
- Wonja (元子 원자; Pangeran Istana), putra pertama raja sebelum secara
formal diangkat sebagai calon pewaris tahta, dengan formalitas mama (媽媽
마마 Yang Mulia). Umumnya Pangeran Istana adalah putra yang lahir dari
hubungan resmi raja dan ratu, namun ada pengecualian saat gelar Pangeran
Istana diberikan pada putra pertama raja dengan selir, contohnya adalah
yang terjadi pada masa Raja Sukjong.
- Wangseja (王世子 왕세자; Pangeran Istana Penerus), calon pewaris tahta,
dengan putra tertua diberikan hak atas saudara-saudaranya, dengan gelar
yang disingkat seja (世子 세자; Pangeran Penerus) dengan formalitas jeoha
(邸下 저하; Yang Mulia). Dalam sebutan yang kurang formal digunakan gelar
donggung (東宮 동궁; Istana Timur) atau chungung (春宮 춘궁; Istana Musim Semi)
dengan formalitas mama (媽媽 마마; Yang Mulia).
- Wangsaejabin (王世子嬪 왕세자빈; Istri Pangeran Penerus Istana), istri dari
pangeran penerus atau sederhananya Istri saejabin (世子嬪 세자빈; Pangeran
Penerus), dengan formalitas manora 마노라, atau manura마누라 (Yang Mulia).
- Gongju (公主 공주; Putri), putri dari hubungan resmi raja dengan
permaisuri, formalitasnya agissi (아기씨; Yang Mulia) sebelum pernikahan
dan jaga (자가; Yang Mulia) setelahnya.
- Ongju Putri (翁主 옹주; Putri), putri dari hubungan antara raj dan
selir, formalitasnya agissi (아기씨; Yang Mulia) sebelum pernikahan dan
jaga (자가; Yang Mulia) setelahnya.
- Wangseje (王世弟 왕세제; Saudara Penerus Pangeran Istana), saudara
laki-laki (adik) raja yang telah dicalonkan menjadi pewaris tahta saat
sang raja tidak memiliki keturunan.
- Wangseson (王世孫 왕세손; Keturunan Penerus Pangeran Istana), putra dari
Pangeran Penerus dan Istri Pangeran Penerus, dan cucu dari raja, dengan
formalitas hap-a (閤下 합하; Yang Mulia).
Semasa kekaisaran
- Hwangje (皇帝 황제), kaisar, dengan formalitas pyeha (陛下 폐하; Yang Mulia Kaisar)
- Hwanghu (皇后 황후), Maharani (istri), dengan formalitas Yang Mulia Maharani.
- Hwangtaehu (皇太后 황태후), Ibu Suri
- Taehwangtaehu (太皇太后 태황태후), Ibu Suri senior, nenek Kaisar
- Hwangtaeja (皇太子 황태자), Putra Mahkota Kaisar, dengan formalitas jeonha (殿下 전하; Yang Mulia)
- Hwangtaeja-bi (皇太子妃 황태자비), Putri Mahkota istri Putra Mahkota, dengan formalitas Yang Mulia
- Chinwang (親王 친왕), Pangeran putra kaisar, dengan formalitas Yang Mulia
- Chinwangbi (親王妃 친왕비), Putri istri pangeran, dengan formalitas Yang Mulia
- Gongju (公主 공주), Putri Kaisar, anak perempuan Kaisar dan Maharani, dengan formalitas Yang Mulia
- Ongju (翁主 옹주), Putri Kaisar, anak kaisar dengan, dengan formalitas Yang Mulia
Referensi
Dinasti Joseon mencatat sejarahnya ke dalam
Babad Dinasti Joseon.
Saat ini tidak ada lagi sejarawan resmi dari keluarga kerajaan, dan
di Korea, 2 koleksi babad tentang 2 kaisar terakhir yang diedit dengan
bantuan dalam bahasa Jepang tidak dimasukkan ke dalam koleksi
keseluruhan. Referensi mengenai Anggota Keluarga Kerajaan dan
aktivitasnya saat ini hanya dapat ditemukan di website lingkungan
kerajaan.